Rabu, 09 Juli 2014
Mubalig Pop; Antara Popularisasi dan Banalisasi Agama
Mubalig adalah penyambung lidah agama yang bertugas melakukan internalisasi, difusi, transmisi, transformasi bahkan kulturisasi Islam. Tugas ini sangat mulia, hingga Allah menyebut mereka, “kamu adalah sebaik-baiknya ummat…”, khair al ummah. Dipundaknya dipikul tanggungjawab perubahan ummat dari yang destruktif menuju konstruktif. Ia membawa misi sebagai agent penebar dan penabur risalah suci demi eksisitensi wajah Islam sebagai rahmatan lil’alamin.
Sebagai makhluk yang hidup di dunia nyata dan realita, tentu saja para mubalig berhadapan dengan sejumlah tantangan besar. Diantara tantangan itu bernama jiwa zaman. Jujur kita akui jiwa zaman saat ini adalah kapitalisme global. Ia sangat berbeda dengan yang lain, jiwa zaman yang satu ini adalah sang purwa rupa. Ia memiliki banyak wajah cantik nan menarik dilirik oleh siapapun tak terkecuali para mubalig.
Diantara wajah cantik kapitalisme global sebagai jiwa zaman kini adalah budaya popular (popular culture). Secara spesipik, para penggiat cultural studies memberikan beberapa penegasan. Ia adalah budaya rendahan (Dominic Strinati), budaya media (John Fiske), budaya komersial, budaya pasar, budaya rakyat jelata (Madam Saruf), bahkan budaya remeh temeh. Atau dalam penegasan Adorno, Horkheimer dan Marcuse, budaya populer adalah budaya yang bertentangan dengan semangat pencerahan. Ia memiliki proyek membuat bodoh manusia dengan “industrialisasi budaya” kapitalis.
Secara rinci, budaya popular itu memiliki beberapa karakter, yakni; relativisme (tidak ada yang mutlak), pragmatisme (segala sesuatu diukur dari fungsi, benar dan salah bukan ukuran), sekularisme (agama dianggap tidak penting), hedonisme (mengedepankan syahwat ketimbang nalar intelektual), materialisme (materi atau uang adalah ukuran), banalitas (dangkal, membelakangan makna dan berfikir kritis), hybrid (hasrat ingin serba mudah), monokultur (penyeragaman rasa), hipper realitas (menghilangkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu) budaya gaya (mengedepankan gaya ketimbang makna), budaya visual atau budaya layar (pusat kesadaran adalah layar), dan budaya ikon (pemujaan atas merek dan label).
Meminjam kesimpulan Yasraf Amir Piliang, budaya popular adalah budaya massa, budaya kapitalis, dan budaya konsumeris. Disebut budaya massa karena budaya pop diproduksi secara masal oleh media massa. Disebut budaya kapitalisme, karena budaya ini merupakan proyek kepentingan besar kalangan kapitalis. Dan disebut budaya konsumersime, karena budaya ini menggiring manusia untuk membangun nafsu konsumtif.
Relasi antara mubalig dengan realita jiwa zaman ini, secara fenomenal dalam jagat dakwah Indonesia, telah melahirkan apa yang dikenal dengan mubalig pop. Ia adalah wajah baru dari rijalud dakwah. Ia tampil mentabligkan Islam di berbagai media massa dan tempat-tempat populer, pesan-pesan tablignya dikemas secara populer, dan yang pasti saat bertablig ia menggunakan simbol-simbol populer dan menggandeng orang-orang populer. Tidak berhenti di situ, kegiatan dakwahnya kadang disentuh oleh tangan-tangan terampil para-event organizer- atau label-label tertentu, yang dengan sentuhan itu dakwah Islam menjadi sesuatu yang marketable. Dengan sentuhan tangan kreatif itu pula, dakwah Islam tidak hanya dilaksaakan di masjid atau di madrasah semata, tetapi ditempat-tempat lain seperti pusat-pusat perbelanjaan dakwah Islam semarak dilaksanakan.
Secara fenomenal, kehadiran mubalig pop telah menghantarkan dakwah Islam yang semula terkesan hanya milik orang alit kini menjadi tradisi kaum elit. Semula dakwah Islam digelar pada momentum keagamaan ansich sekarang dalam momentum yang tidak ada kaitan sama sekali dengan agama selalu ada dakwahnya. Sebut saja, pada momentum ulang tahun, arisan, peresmian club olah raga, peresmian tempat usaha, kenaikan pangkat, lulus sertifikasi (guru dan dosen), lulus studi, lulus PNS, diterima bekerja, deklarasi partai politik, dan yang lainnya. Singkatnya dalam sentuhan mubalig pop, dakwah Islam sedang mengalami popularisasi hinga ajaran Islam nampak lestari dan membumi.
Tidak hanya itu, kehadiran mubalig pop telah menjadi semacam magnet yang menarik seluruh kesadaran banyak generasi muda Islam untuk berbondong-bondong mengikuti berbagai audisi dan ajang kompetisi lainnya yang ditengarai bisa menghantarkan mereka menjadi sang penyambung lidah agama, pujaan berjuta ummat, beristeri selebriti, hidup bergelimang harta dan kehormatan. Apapun yang dilakukannya jadi incaran insan media. Foto-fotonya menyertai beritanya diberbagai Koran dan majalah.
Disamping itu semua, ternyata kemunculan mubalig pop ini ditandai oleh berbagai permasalahan, dilema dan kontradiksi. Situasi problematik ini muncul dalam suasana tarik menarik antara kekuatan idealitas Islam yang nempel pada pundak sang mubalig dengan rayuan budaya popular yang sangat vulgar. Endingnya, ternyata para mubalig tergiring pada berbagai situasi kontradiksi dan realitas paradoksal.
Sebagai contoh, pada satu sisi seorang mubalig adalah sang penyambung lidah agama yang harus tunduk patuh pada titah kitab suci, namun disisi lain ia tampil sebagai model atau peragawan budaya pop yang mengiklankan gaya hidup pragmatis, konsumeris, materialistis bahkan hedonistis. Ia tidak segan melakukan komodifikasi agama (memperjual belikan agama), desakralisasi agama, bahkan mencampur adukan antara agama yang sakral dengan hal-hal profan yang remeh temeh. Dengan begitu, agama Islam yang ia dakwahkan mengalami semacam banalisasi, yakni proses pendakalan.
Tentang fenomena mubalig pop ini Kang Jalaludin Rakhmat pernah menulis sebagai berikut:
“Karena dakwah menjadi budaya pop, mubalig sekarang tampil sebagai selebriti. Hubungannya dengan pengikutnya sama seperti hubungan artis dengan ‘fans’, para penggemarnya. Di wajakhnya tidak ada lagi aura sakral; yang ada adalah sinar yang berasal dari lampu sorot kamera. Bahkan sebelum ia tampil di depan massa, petugas tata rias sudah memoles mukanya. Pada dahinya kelihatan bukan bekas sujud tetapi bekas polesan bedak. Tidak jarang pakaianpun sudah dipersiapkan. Ia harus muncul dengan pakaian yang dirancang oleh perancang busana Fulan.
Sebagai selebriti, mubalig sekarang bergaul dengan kelompok yang ekslusif. Untuk itu sebagaimana kelompok ekslusif lain mana pun, ia memerlukan aksesoris. Ia harus tampil dalam suasana glamour. Ia harus mempunyai mobil mewah, rumah megah, kartu kredit, handphone (mahal) dan agen. Anda harus menghubungi agen kalau ingin berjumpa dengannya..
Mereka terkenal, kaya raya, dan hidup di tengah orang-orang yang cantik jelita. Buat media massa, mubalig pop adalah pembuat berita. Kehidupan pribadinya menjadi sosrotan. Hidung media masuk sampai ke dapur dan kamar tidurnya. Tidak jarang, media dengan semangat menyebarkan dan membesar-besarkan gossip di sekitar kehidupannya sehari-hari”.
Kontradiksi dalam kasus ini muncul ketika prinsif sakralitas dakwah bercampur aduk dengan profanitas budaya popular. Pada kutub ini, mahasiswa jurusan komunikasi dan penyiaran Islam Fakultas Dakwah UIN Bandung, sebagai insan akademik yang dicetak sebagai calon mujahid dakwah memiliki ladang jihad yang sangat menantang. Kita harus melakukan penelitian secara seksama. Ini urgen dilakukan, agar kita bisa objektif, tidak berat sebelah sekaligus tidak hitam putih. Sebab pada satu sisi kehadiran mubalig pop telah berperan dalam melakukan popularisasi agama, yang karenanya Islam menjadi lestari. Sedangkan kekhawatiran atas banalisasi sebagai ekses negatifnya, itu jelas juga sangat berbahaya.
Selamat berjuang.
*) Penulis merupakan dosen pengajar dan Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SGD Bandung