Rabu, 13 Agustus 2014
Dampak Arus Informasi dan Upaya Pendidikan Masyarakat Melalui Dakwah
Oleh Drs. Dadan Suherdiana, M.Ag*
Semenjak Alfin Topfler mewacanakan pernyataannya, bahwa abad 21 merupakan abad informasi, sampai sekarang tesis itu masih menjadi acuan terjadinya revolusi informasi di dunia ini. Bukan hal yang rahasia lagi, jika secara terbuka kita menyaksikan penjajahan yang agresif dengan memakai fasilitas teknologi canggih dan mutakhir, baik itu melalui computer, internet, televisi dan media lainnya.
Dalam tampilannya yang menarik, era informasi yang diaplikasikan dalam bentuk teknologi informasi yang canggih, di sisi lain menghadirkan eksploitasi yang destruktif bagi kejernihan ranah kehidupan manusia. Bisakah melimpah ruahnya teknologi informasi memberikan makna bahwa manusia sekarang lebih mampu mengendalikan nasibnya sendiri?
Banyak akhli menyangsikannya, termasuk tanggapan pesimis yang keluar dari kalangan barat, yang nota bene merupakan moyang munculnya teknologi informasi ini, misalnya : Lester R Brown dalam bukunya “Dunia Penuh Ancaman” mengatakan bahwa dunia sekarang ini penuh dengan ancaman. Secara interpretatif bahwa abad informasi bukannya meningkatkan pengendalian kita atas kehidupan, tetapi faktanya jurtru menghasilkan ekses yang sebaliknya. Donald Michael, malah lebih pesimis lagi dengan ungkapannya, bahwa suatu ironi besar dalam kebudayaan manusia bahwa salah satu premis yang paling asasi yaitu : semakin banyak informasi, makin banyak ilmu pengetahuan, maka makin besar untuk melakukan pengendalian.
Nyatanya premis ini terpatahkan oleh premis yang muncul kemudian yaitu : semakin banyak informasi yang muncul dan diterima oleh masyarakat manusia, justru semakin disadari bahwa segala sesuatunya semakin sulit dikendalikan. Contohnya pengrusakan lingkungan, kekacauan ekonomi, politik dan social budaya. Oleh karena itu era informasi samasekali bukanlah rahmat bagi masyarakat dunia, sebab ia telah menghasilkan sejumlah besar problem yang sulit dipecahkan.
Problem ini muncul dikarenakan kesalahan manusia dalam memanfaatkan teknologi informasi, kebanyakan manusia telah membidik teknologi informasi bukan sebagai alat yang bersifat guna pakai sebagaimana nilai fungsionalnya. Akan tetapi kebanyakan manusia telah memposisikan teknologi sebagai mesin-mesin kepuasan pemenuhan kebutuhan, yang klimaksnya dengan diiringi pandangan materialistik hedonis, manusia telah jatuh pada pengkultusan teknologi. Imbasnya adalah rapuhnya ranah kehidupan sosio-religius manusia berganti menjadi ranah keserakahan dan kedigjayaan yang keropos dari nilai-nilai agama. Dalam konteks inilah maka peran agama diharapkan muncul dengan konsep pendidikan masyarakat melalui dakwah, yang tentu saja dengan memanfaatkan teknologi informasi secara banar, sesuai fungsinya.
Distorsi Teknologi Informasi
Bergantinya era agraris menjadi era industri terjadi dengan revolusi yaitu revolusi industri. Begitu pula ketika era industri berganti menjadi era informasi menimbulkan perubahan besar di berbagai aspek kehidupan. Secara fundamental ukuran-ukuran makna kemanusiaan pun ikut mengalami perubahan yang sangat fantastis? Dimana ukuran makna kemanusiaan yang memiliki arti dan nilai social berganti wujud serta semakin tereliminasi dari kehidupan manusia yang sebenarnya secara progresif-revolusioner. Betapa tidak, era informasi yang sering disebut era globalisasi betul-betul telah meruntuhkan batas-batas substansi dan eksistensi kehidupan manusia. Era globalisasi juga sering dimaknai sebagai era virtual yang nyatanya telah menyebabkan konsep-konsep social seperti : integrasi, unitas social, interaksi social, nasionalisme dan solidaritas, semakin kehilangan realitas sosialnya, dan pada titik kulminasi hanya menjadi sebuah mitos, dan inilah yang oleh para futurolog disebut sebagai akhir social, yang diawali munculnya penyakit konsumerisme akut seperti contohnya fornografi lewat jaringan internet (cyberporn). Pada letak inilah realitas social tenggelam dalam hutan belantara virtual social.
Dari realitas kehidupan modern ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa efek-distorsi teknologi informasi yang terjadi saat ini memiliki implikasi : de-humanisasi dan de-spiritualisasi.
Implikasi yang mengarah de-humanisasi ditandai dengan adanya pertama, de-sosialisasi ( dimana nilai-nilai social semakin tereduksi dan hilang dari realitas : artinya ekses dari kemajuan teknologi informasi telah menggiring pola berkehidupan masyarakat menghilang dan tidak peduli lagi pada nilai dan hakikat), efek domino kemajuan teknologi informasi ini juga menjadikan batas-batas social lenyap, khususnya sudah tidak ada batas yang jelas antara dunia anak-anak dengan dunia dewasa. Kedua, de-kulturisasi ( ditandai dengan semakin hilangnya nilai-nilai identitas budaya local masyarakat yang sebelumnya menjadi karakter bahkan menjadi pijakan normative kehidupan social manusia. Pada tahap inilah kemajuan teknologi informasi secara tidak langsung telah melahirkan imperialisme baru, yakni imperialisme budaya, dalam kerangka budaya global, yang dalam behasa Jalaluddin Rakhmat telah terjadi technotronic ethnocide dan ketiga, deviasi pengalihan pola proses yang terjadi dalam orientasi berfikir (ditandai dengan semakian banyaknya manusia yang berfikir serba instant dan berfikir materialistic-mekanik).
Implikasi yang mengarah pada de-spiritualisasi, ditandai dengan adanya anomie reduksi spiritualitas keagamaan dan kultisme teknologi. Dalam hal ini teknologi bukan hanya sebagai mediacapes (melimpahkan arus media ke berbagai Negara), malahan sudah menjadi ideocapes ( pesan-pesan yang sarat dengan kebebasan nilai senantiasa menginternalisasi kesenangan dan hiburan (hedonistic) kepada manusia sebagai penikmat produksi teknologi yang ujungnya melunturkan dan melemahkan nilai-nilai spiritualitas keagamaan. Masyarakat dunia seakan-akan sudah tidak peduli terhadap segala dimensi nilai karena sudah terektasi dalam produk teknologi yang bersifat konsumerisme. Artinya teknologi sudah berada di atas menusia dengan menjadikan subjektivitas kehidupan dan menjadikan tuan dari manusia- faith in technology (mendewakan teknologi).
Dakwah Berbasis Teknologi
Dalam sejarah, dakwah Islam senantiasa dihadapkan pada tantangan zaman. Kali ini tantangan itu berwujud era informasi yang ditandai dengan teknologi yang sangat canggih. Konsep dinamisme dalam Islam sebenarnya dapat membimbing kepada kaum muslimin bahwa di era informasi yang diperlukan adalah interpretasi ajaran yang berorientasi ke masa depan. Artinya Islam harus dipandang sebagai ideologi yang mengarahkan perencanaan sosial dan revolusioner.
Kaum muslimin tidak harus melihat secara pesimis tetapi harus melihat secara optimis dengan menggunakan sudut pandang kearifan eksperimental. Artinya teknologi informasi sebagai produk sains harus diambil, kemudian dieksperimentasi dengan mengaitkannya ke dalam bentuk kearifan. Pengambilan produk sains ini dalam kerangka dakwah islam, yang bertujuan melakukan tadbir masa depan umat dan peradaban islam.
Dalam konteks ini menjadi keharusan bagi lembaga dakwah islam untuk memanfaatkan perangkat teknologi informasi seperti internet, radio, televise, paling tidak dapat digunakan sebagai counter attack terhadap melubernya bias-bias deviasi yang dikembangkan oleh komunikan sekuler dan liberalis.
Ada berbagai strategi pemanfaatan teknologi informasi dalam upaya dakwah islam ini, misalnya teknik initiating interventions artinya, pelaksana dakwah menerobos masuk pada situs-situs atau-program-program siaran yang terdapat dalam teknologi informasi yang selalu menampilkan hal-hal yang bersifat a-normatif. Dengan strategi ini diharapkan prinsip dakwah qaulan sadidan, qaulan balighan, qaulan maysuran, qaulan layyinan, qaulan kariman, dan qaulan ma’rufan, dapat terinternalisasi pada para pengguna jasa teknologi informasi. Dalam media radio dan televisi dikenal metode infiltrasi, yaitu memasukan pesan dakwah secara tidak terasa dalam program atau tayangan tertentu.
Wallahu a’lam
*) Penulis merupakan dosen pengajar dan Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SGD Bandung